BENCANA (LITERASI) KESEHATAN
(BELAJAR DARI KASUS KPAI, KEMATIAN ARTIS & VIRUS CORONA)
Baru-baru ini warga dikagetkan dengan pernyataan anggota Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait kaum hawa yang dapat hamil jika
berenang di kolam renang yang bercampur dengan kaum adam. Sebelumnya juga viral
di media sosial, sebuah utas yang menyampaikan bahwa penyebab kematian seorang
artis dikarenakan penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Pada utas
tersebut dijelaskan bahwa asam lambung dapat naik ke jantung bahkan sampai bisa
merembes ke mata. Puluhan ribu yang memberikan respon suka bahkan ikut
memposting ulang. Bahkan akun-akun terferifikasi yang berprofesi sebagai dokter
sampai memberikan tanggapan.
Selain itu, tidak lama juga, dunia kesehatan dihebohkan dengan pernyataan
dari seorang dosen guru besar yang menyatakan bahwa penyakit virus korona dapat
disembuhkan dengan pengobatan ruqyah. Informasi-informasi tersebut masih dapat
kita temukan di jejak digital media mainstream hingga saat ini.
Artikel ini tidak akan membahas tentang penyangkalan disinformasi dari
kasus-kasus tersebut, karena sudah banyak pakar yang memberikan bantahannya.
Namun yang menjadi pertanyaan besar dan perlu menjadi perhatian adalah siapa
mereka yang memberikan pernyataan? Apakah mereka pakar di kasus tersebut? Dan
kenapa pula banyak masyarakat yang percaya bahkan merespon suka dan ikut
menyebarkannya?
Hal ini menegaskan bahwa literasi (khususnya kesehatan) bagi warga negara
Indonesia sangat rendah. Topik ini pun sudah banyak dibahsa sebelumnya, betapa
peringkat literasi tertinggal jauh dari negara lain. Selain kemampuan membaca
yang mengkhawatirkan, kebiasaan mudah percaya dan ikut meyebarkan berita tanpa
ada proses cek dan crosscek akan menjadi pemicu bencana kesehatan akibat
minimnya literasi kita.
Bisa dibayangkan, bagaimana upaya penanganan kesehatan yang sedang
digalakkan oleh pemerintah tidak terlalu direspon dengan baik akibat dari
disinformasi yang bertebaran di jagat maya. Informasi-informasi yang
menyesatkan tersebut justru lebih cepat muncul dan ditangkap masyarakat sebagai
kebenaran. Akibatnya, informasi resmi dari pemerintah atau pakarnya tidak bisa
memberikan efek viral dibandingkan dengan informasi sebelumnya. Apa yang
membuat ini terjadi?
Hal ini bisa dilihat, informasi yang disosialisasikan oleh pihak yang
lebih berwenang dan berkompeten tidak bisa memberikan efek yang masif. Berbeda
dengan viralnya informasi-informasi kontroversial tersebut.
Bisa jadi, hal ini disebebakan kemampuan komunikasi massa pemegang akun
institusi resmi atau akun dari seoarang pakar tidak lebih baik dari akun-akun
biasa. Komunikasi massa dalam hal ini adalah komunikasi yang sesuai usia. Perlu
dimaklumi, hal ini bisa terjadi karena jumlah mayoritas pemegang akun sosial
media adalah usia remaja. Bahasa dan peminatan gaya baca jauh berbeda dengan
generasi sebelummnya.
Sedangkan pada kasus disinformasi yang tidak bermula dari akun sosial
media, seperti ungkapan anggota Komisioner KPAI bisa disebabkan tidak adanya
klarifikasi ulang dari wartawan media mainstream saat mendapatkan jawaban. Bisa
jadi, topik yang disampaikan memang di luar pemahaman wartawan. Jadi sulit
untuk memperdalam informasinya. Namun, karena pernyataan yang disampaikan
memang kontroversial, maka ini menjadi kesempatan bagi media untuk
mempublikasikannya dan mendapatkan atensi dari pembaca.
Pemerintah tidak akan berhasil mencegah penyakit dan membudayakan gaya
hidup sehat, jika informasi kesehatan yang benar kalah viral dengan informasi yang
salah. Upaya sederhana dari pemegang akun resmi institusi kesehatan pemerintah
(akun promosi kesehatan atau lainya) harus dipegang orang yang mengusai teknik
komunikasi massa kekinian. Isilah akun-akun dengan informasi yang menarik,
jangan hanya sosialisasi program atau foto-foto kegiatan para pejabat di
pemerintahan.
Hal ini penting dilakukan, karena kecepatan informasi menjadi modal
pembangunan sumber daya manusia. Perlu dipertimbangkan bahwa kemampuan literasi
yang benar dapat mencegah terjadinya bencana kesehatan di Indonesia.
Seperti kasus yang sampai saat ini menjadi masalah global yakni endemi
Covid-19 akan menjadi bencana kesehatan jika masyarakat dijejali
informasi-informasi yang salah. Hal ini sudah tampak dari penolakan warga
disekitar Natuna yang menjadi lokasi karantina WNI yang dipulangkan dari Wuha,
Cina. Keterlambatan informasi yang diterima Bupati natuna membuat
kesimpangsiuran informasi yang merebak di masyarakat. Hanya karena informasi
yang terlambat membuat pencegahan bencana kesehatan virus corona ikut
terganggu.
Informasi yang benar itu penting. Secara psikis, manusia akan mengalami
kecamasan hingga kepanikan jika menghadapi suatu masalah dengan pengetahuan
yang terbatas. Belum juga dibenturkan dengan informasi yang salah yang
diutarakan oleh tokoh-tokoh panutan namun tidak sesuai dengan kompetensinya.
Beredar di grup aplikasi chatting bahwa penyakit ini adalah tentara tuhan yang
menghukum negara. Memang benar itu wilayah kepercayaan, tapi itu tidak
seharusnya disampaikan ke publik dan menjadi konsumsi umum. Lagi-lagi di sini
peran akun atau media pemerintah dan media massa harus ikut meluruskanya.
Sekali lagi, terlambat.
Kita bersyukur munculnya penyakit tersebut tidak bermula di Indonesia.
Sulit membayangkan kepanikan dan kekacuan jika itu terjadi di sini.
Kecepatan publikasi
Prinsi pencegahan dan penanganan bencana apapun, termasuk bencanan
kesehata, adalah kecepatan bertindak. Pemerintah punya peran dan para pakar
punya tanggung jawab untuk memberikan informasi yang benar dan aktual. Secepat
mungkin informasi kesehatan yang terkini harus disampaikan. Jangan hanya
bereaksi saja setelah informasi yang menyesatkan telah viral. Pencegahan lebih
daripada mengobati. Memberikan informasi yang benar lebih dahulu, lebih baik
daripada meluruskan informasi salah yang sudah terlanjur menyebar.
Bila perlu pemerintah memberikan rekomendai atau aturan terkait
pemberitaan kesehatan yang berisiko menimbulkan bencana nasional. Hanya pihak
yang resmi atau yang berwenang yang berhak menberitakan. Para pakar kesehatan
yang sudah mendalami ilmu kesehatan yang lama, tidak boleh tersisihkan oleh
mereka yang memposting informasi salah hanya demi viral.
Media punya kontribusi mengutip data atau pernyataan dengan benar. Jangan
membuat berita yang kontroversial demi rating pembaca. Selain itu, Pemegang
akun yang tidak ahli dibidang kesehatan tidak perlu memberikan pernyataan
apapun. Jangan demi viral, keamanan nasional dipertaruhkan. Sebagai warna
negara, patutnya ikut menciptakan pencegaha dan penanganan masalah kesehatan
dengan tidak memberikan informasi yang salah.
Kemampuan literasi kesehatan yang rendah dapat
mengakibatkan masalah bencana kesehatan dan dapat dicegah dengan kecepatan
publikasi informasi yang benar. Pelan-pelan kita ciptakan budaya literasi dan
publikasi informasi sebagai basis dasar pencegahan bencana kesehatan di Indonesia
bahkan dunia.