Kamis, 05 Maret 2020

BENCANA (LITERASI) KESEHATAN
(BELAJAR DARI KASUS KPAI, KEMATIAN ARTIS & VIRUS CORONA)
 Oleh Ns. Muflih., S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Kom

Baru-baru ini warga dikagetkan dengan pernyataan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait kaum hawa yang dapat hamil jika berenang di kolam renang yang bercampur dengan kaum adam. Sebelumnya juga viral di media sosial, sebuah utas yang menyampaikan bahwa penyebab kematian seorang artis dikarenakan penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Pada utas tersebut dijelaskan bahwa asam lambung dapat naik ke jantung bahkan sampai bisa merembes ke mata. Puluhan ribu yang memberikan respon suka bahkan ikut memposting ulang. Bahkan akun-akun terferifikasi yang berprofesi sebagai dokter sampai memberikan tanggapan.
Selain itu, tidak lama juga, dunia kesehatan dihebohkan dengan pernyataan dari seorang dosen guru besar yang menyatakan bahwa penyakit virus korona dapat disembuhkan dengan pengobatan ruqyah. Informasi-informasi tersebut masih dapat kita temukan di jejak digital media mainstream hingga saat ini.
Artikel ini tidak akan membahas tentang penyangkalan disinformasi dari kasus-kasus tersebut, karena sudah banyak pakar yang memberikan bantahannya. Namun yang menjadi pertanyaan besar dan perlu menjadi perhatian adalah siapa mereka yang memberikan pernyataan? Apakah mereka pakar di kasus tersebut? Dan kenapa pula banyak masyarakat yang percaya bahkan merespon suka dan ikut menyebarkannya?
Hal ini menegaskan bahwa literasi (khususnya kesehatan) bagi warga negara Indonesia sangat rendah. Topik ini pun sudah banyak dibahsa sebelumnya, betapa peringkat literasi tertinggal jauh dari negara lain. Selain kemampuan membaca yang mengkhawatirkan, kebiasaan mudah percaya dan ikut meyebarkan berita tanpa ada proses cek dan crosscek akan menjadi pemicu bencana kesehatan akibat minimnya literasi kita.
Bisa dibayangkan, bagaimana upaya penanganan kesehatan yang sedang digalakkan oleh pemerintah tidak terlalu direspon dengan baik akibat dari disinformasi yang bertebaran di jagat maya. Informasi-informasi yang menyesatkan tersebut justru lebih cepat muncul dan ditangkap masyarakat sebagai kebenaran. Akibatnya, informasi resmi dari pemerintah atau pakarnya tidak bisa memberikan efek viral dibandingkan dengan informasi sebelumnya. Apa yang membuat ini terjadi?
Hal ini bisa dilihat, informasi yang disosialisasikan oleh pihak yang lebih berwenang dan berkompeten tidak bisa memberikan efek yang masif. Berbeda dengan viralnya informasi-informasi kontroversial tersebut.

Bisa jadi, hal ini disebebakan kemampuan komunikasi massa pemegang akun institusi resmi atau akun dari seoarang pakar tidak lebih baik dari akun-akun biasa. Komunikasi massa dalam hal ini adalah komunikasi yang sesuai usia. Perlu dimaklumi, hal ini bisa terjadi karena jumlah mayoritas pemegang akun sosial media adalah usia remaja. Bahasa dan peminatan gaya baca jauh berbeda dengan generasi sebelummnya.
Sedangkan pada kasus disinformasi yang tidak bermula dari akun sosial media, seperti ungkapan anggota Komisioner KPAI bisa disebabkan tidak adanya klarifikasi ulang dari wartawan media mainstream saat mendapatkan jawaban. Bisa jadi, topik yang disampaikan memang di luar pemahaman wartawan. Jadi sulit untuk memperdalam informasinya. Namun, karena pernyataan yang disampaikan memang kontroversial, maka ini menjadi kesempatan bagi media untuk mempublikasikannya dan mendapatkan atensi dari pembaca.  
Pemerintah tidak akan berhasil mencegah penyakit dan membudayakan gaya hidup sehat, jika informasi kesehatan yang benar kalah viral dengan informasi yang salah. Upaya sederhana dari pemegang akun resmi institusi kesehatan pemerintah (akun promosi kesehatan atau lainya) harus dipegang orang yang mengusai teknik komunikasi massa kekinian. Isilah akun-akun dengan informasi yang menarik, jangan hanya sosialisasi program atau foto-foto kegiatan para pejabat di pemerintahan.
Hal ini penting dilakukan, karena kecepatan informasi menjadi modal pembangunan sumber daya manusia. Perlu dipertimbangkan bahwa kemampuan literasi yang benar dapat mencegah terjadinya bencana kesehatan di Indonesia.
Seperti kasus yang sampai saat ini menjadi masalah global yakni endemi Covid-19 akan menjadi bencana kesehatan jika masyarakat dijejali informasi-informasi yang salah. Hal ini sudah tampak dari penolakan warga disekitar Natuna yang menjadi lokasi karantina WNI yang dipulangkan dari Wuha, Cina. Keterlambatan informasi yang diterima Bupati natuna membuat kesimpangsiuran informasi yang merebak di masyarakat. Hanya karena informasi yang terlambat membuat pencegahan bencana kesehatan virus corona ikut terganggu.
Informasi yang benar itu penting. Secara psikis, manusia akan mengalami kecamasan hingga kepanikan jika menghadapi suatu masalah dengan pengetahuan yang terbatas. Belum juga dibenturkan dengan informasi yang salah yang diutarakan oleh tokoh-tokoh panutan namun tidak sesuai dengan kompetensinya. Beredar di grup aplikasi chatting bahwa penyakit ini adalah tentara tuhan yang menghukum negara. Memang benar itu wilayah kepercayaan, tapi itu tidak seharusnya disampaikan ke publik dan menjadi konsumsi umum. Lagi-lagi di sini peran akun atau media pemerintah dan media massa harus ikut meluruskanya. Sekali lagi, terlambat.

Kita bersyukur munculnya penyakit tersebut tidak bermula di Indonesia. Sulit membayangkan kepanikan dan kekacuan jika itu terjadi di sini.

Kecepatan publikasi
Prinsi pencegahan dan penanganan bencana apapun, termasuk bencanan kesehata, adalah kecepatan bertindak. Pemerintah punya peran dan para pakar punya tanggung jawab untuk memberikan informasi yang benar dan aktual. Secepat mungkin informasi kesehatan yang terkini harus disampaikan. Jangan hanya bereaksi saja setelah informasi yang menyesatkan telah viral. Pencegahan lebih daripada mengobati. Memberikan informasi yang benar lebih dahulu, lebih baik daripada meluruskan informasi salah yang sudah terlanjur menyebar.
Bila perlu pemerintah memberikan rekomendai atau aturan terkait pemberitaan kesehatan yang berisiko menimbulkan bencana nasional. Hanya pihak yang resmi atau yang berwenang yang berhak menberitakan. Para pakar kesehatan yang sudah mendalami ilmu kesehatan yang lama, tidak boleh tersisihkan oleh mereka yang memposting informasi salah hanya demi viral.
Media punya kontribusi mengutip data atau pernyataan dengan benar. Jangan membuat berita yang kontroversial demi rating pembaca. Selain itu, Pemegang akun yang tidak ahli dibidang kesehatan tidak perlu memberikan pernyataan apapun. Jangan demi viral, keamanan nasional dipertaruhkan. Sebagai warna negara, patutnya ikut menciptakan pencegaha dan penanganan masalah kesehatan dengan tidak memberikan informasi yang salah. 
Kemampuan literasi kesehatan yang rendah dapat mengakibatkan masalah bencana kesehatan dan dapat dicegah dengan kecepatan publikasi informasi yang benar. Pelan-pelan kita ciptakan budaya literasi dan publikasi informasi sebagai basis dasar pencegahan bencana kesehatan di Indonesia bahkan dunia.

BENCANA (LITERASI) KESEHATAN (BELAJAR DARI KASUS KPAI, KEMATIAN ARTIS & VIRUS CORONA)  Oleh Ns. Muflih., S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Kom...