Senin, 26 Juli 2010

(Masihkah) Mahasiswa Sebagai MAHAsiswa

(Masihkah) Mahasiswa Sebagai MAHAsiswa
Oleh: Muflih, S.Kep., Ns


Citra mahasiswa baru-baru ini sedikit memudar akibat ulah segelintir dari mereka yang saling pukul, lempar batu, atau tawuran atas nama solidaritas. Mereka merasa senasib dan sehati di dalam satu organisasi atau jurusan. Kesan positif dari kata senasib dan sehati mencederai kemurnian solidaritas atas nama golongan, sesama jurusan, sesama fakultas, atau atas nama satu kampus, yakni, satu almamater. Mereka tidak memiliki awarnes bahwa yang menjadi “musuh”nya adalah sesama mahasiswa, sebagai change agent, agen perubahan.
Menilik struktur dari kata mahasiswa, dapat diuraikan manjadi 2 (dua) unsur. “Maha” yang berarti lebih atau lebih besar. Dan “siswa” merupakan sinonim dari kata pelajar. Dengan demikian, kata mahasiswa memiliki makna lebih dari siswa biasa atau “bukan siswa biasa”.

Kebanggaan memiliki status mahasiswa yang melekat pada setiap individu sangat kuat sekali terasa saat pertama kali dinyatakan diterima pada suatu perguruan tinggi. Bahkan, tidak segan-segan untuk memakai atribut/almamater yang terdapat kalimat/kata mahasiswa. Dan tidak segan-segan pula untuk menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) pada saat-saat tertentu, hanya demi menunjukkan kebanggaan (kalau tidak boleh dibilang menyombongkan diri) sebagai bagian dari civitas akademika.
Mahasiswa sebagai anak-anak kampus, lebih pantas di sebut remaja kampus, memiliki beban tugas yang tidak ringan. Mengingat fungsi peran mahasiswa adalah ssebagai change agent atau agen perubahan/pembaharu. Dengan demikian, mereka harus memiliki sikap mental pembaharu, mental untuk memperbaiki segala hal sebagaimana mestinya.
Berbanding terbalik memang dengan kenyataan yang ada sekarang. Mahasiswa seringkali dikabarkan terlibat dengan pertikaian dan perkelahian, bahkan itu disebabkan karena hal-hal yann sepele. Seperti kalah tanding olahraga antar jurusan atau ketersinggungan dari perkataan-perkataan yang dianggap mengejek. Hal ini menggambarkan jelas bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku serta mental mereka belum bisa dikatakan sebagai mahasiswa. Mahasiswa seharusnya memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku serta mental yang dewasa.
Tugas mahasiswa sangatlah berbeda dengan siswa biasa. Jika siswa di lingkungan sekolah bertugas untuk belajar dan lebih ditekankan untuk mengasah pengetahuan, sikap, dan perilaku mereka, maka mahasiswa lebih ditekankan pada perubaha mental. Sebagai agen pmbaharu yang harus melaksanakan tri dharma perguruan tinggi, mahasiswa tidak hanya bertanggung jawab terhadap proses pendidikan mereka. Namun, harus melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Jangankan menjalankan penelitian dan pengabdian masyarakat, dalam menjalankan proses pendidikan saja dapat kita katakan mereka kurang sukses (kalau tidak boleh dikatakan gagal). Hal ini dapat dilihat dan dibaca di media-media bagaimana mahasiswa sering kali tawuran di lingkungan kampus, lingkungan yang dikatakan lingkungan orang-orang berpendidikan.
Masih terbayang jelas diingatan kita, bagaimana tawuran antar mahasiswa berbeda jurusan yang masih dalam satu almamater kampus di daerah Makasar beberapa waktu lalu. Mereka menjadi gelap mata atas nama solidaritas sesama jurusan/fakultas. Mereka lupa bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa, bukan perusak bangsa. Bagaimana mereka bisa membangun bangsa, menjaga kondusifitas lingkungan kampus saja tidak bisa.
Mahasiswa saat ini (memang tidak semuanya) seringkali hanya memandang segala sesuatunya hanya hitam dan putih. Pandangan pragmatis. Lebih parahnya lagi, mereka selalu memandang diri mereka selalu “putih”. Padahal, tidak setiap sesuatu tidak bisa dilihat dan ditengarai secara hitam-putih, selalu ada kemungkinan uantuk melihat fakta-fakta kejadian dari banyak sudut pandang yang beraneka ragam dan berbeda. Jika hanya memandang segala sesuatunya hitam-putih, apa bedanya mahasiswa dengan anak-anak sisiwa yang belajar tentang sebuah nilai-nilai yang sempit.
Berfikir secara jernih dari sudut pandang yang berbeda adalah menjadi pembeda antara siswa dan mahasiswa. Sebuah kemunduran secara signifikan apabila proses pembelajaran/pendidikan kita, apabila tidak mampu menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang bermental baja, bersikap ksatria dan dapat berfikir jernih. Kalau proses pendidikan kita tetap berkutat demikian dan tidak terjadi perubahan, maka wahai wali-wali mahasiswa, berjiwa besarlah bahwa anak-anak anda adalah mahasiswa sebagai agen perubahan yang suka mengobrak-abrik dan merusak tatanan keabikan ke puing-puing kahancuran.

Mahasiswa, jagoan tanpa tanda jasa
Bukan bertujuan untuk membeda-bedakan atar generasi / angkatan mahasiswa. Pada tahun 1960-an dikenal dengan Angkatan 66, mahasiswa berjuang untuk merubah arah kediktatoran pemerintah. Begitu pula mahasiswa Angkatan 1998, membuat pergerakan reformasi atas kekuasaan otoriter pemimpin negara. Dengan melihat sejarah perjuangan mahasiswa dulu, kita dapat membayangkan bagaimana berat tugas seorang mahasiswa. Selain harus belajar, berproses pendidikan dan membuat perubahan yang lebih baik di lingkunan sekitar mereka. Lingkngan sekitar kita adalah nusantara.
Hal ini timbul karena kepekaan mereka terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang ada di sekitar mereka. Kepekaan-kepekaan ini timbul dari sikap emntal pembeharuan di dalam diri mereka. Sikap mental yang dipupuk di lingkungan kampus akan menciptakan mahasiswa yang berkepribadian dan berguna saat dibutuhkan lingkungan masyarakatnya.
Saat lingkungan masyarakat luar kampus membutuhkan peran, intelektual dan kemampuan memperbaiki atau memecahkan masalah, mahasiswa mau tidak mau harus “turun gungung” atas nama agen pembaharu. Agen yang membawa solusi-solusi baru. Ketika itu juga, citra mahasiswa akan tetap menjadi mahasiswa, bukan siswa. Dengan demikian, mahasiswa adalah seorang jagoan yang datang dari antah berantah membereskan sebuah masalah dari seorang tokoh jahat, sehingngga tercipta pembaharuan dan kedamaian. Aksi-aksi mahasiswa seperti inilah yang seharusnya terjadi dan kita lihat di media-media, bukan aksi-aksi negatif yang justru meinmbulkan masalah baru.
Tidak mudah memang untuk mencetak mahasiswa bermental pembaharu. Paling tidak, sistem pendidikan yang ada dapat menciptakan mahsiswa yang merasa dan memahami dirinya bukan sebagai siswa. Adalah pekerjaan kita semua untuk berfikir dan mengkonsep bagaimankah sistem pendidikan yang dapat menciptakan itu semua. Dan semoga terwujud generasi pembaharu pembangun bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BENCANA (LITERASI) KESEHATAN (BELAJAR DARI KASUS KPAI, KEMATIAN ARTIS & VIRUS CORONA)  Oleh Ns. Muflih., S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Kom...