Senin, 26 Juli 2010

Kekerasan Pendidikan (Lagi)

Kekerasan Pendidikan (Lagi)
Oleh: Muflih, S.Kep., Ns

Baru-baru ini beredar video (lagi) tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Lebih menyedihan lagi, hal ini terjadi di lingkungan terdidik. Di dalam video sangat jelas sekali tindakan pemukulan dan tendangan oleh senior terhadap juniornya dengan dalih kedisiplinan dan melatih mental. Yang menjadi pertanyaan kita semua adalah apakah melatih kedisiplinan dan mental harus dilakukan dengan kekerasan?

Maba Selalu Menjadi Korban
Masih segar diingatan kita pula berita tentang kematian mahasiswa baru (maba) pada tanggal 27 September 2009 yang akn menimba ilmu di Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN), Wisnu Anjar Kusuma (17) asal Depok meninggal di RS PMI Bogor. Yang lebih memiriskan hati kita, hal ini juga menimpa Dwi Yulianto (22) mahasiswa Geologi ITB, salah satu kampus favorit dan terpandang di Indonesia. Maba asal bekasi meninggal di RS Santo Borromeus pada tanggal 8 Februari 2009.
Berita-beria seperti ini sebelumnya juga sudah gencar disiarkan media-media, baik cetak maupun audio visual. Bahkan, saat kejadian tersebut ramai terjadi, beritanya menjadi deadline dan disiarkan mulai pagi hingga malam hari.
Sudah menjadi hal yang lazim kita dengar, bahkan kita pernah merasakannya bahwa mahasisiwa baru harus menjalani proses orientasi kampus yang sering dikenal dengan OSPEK (Orientasi Studi dan Perkenalan Mahasiswa). Bahkan mungkin rasa takut dialami oleh calon mahasiswa baru di pintu gerbang perguruan tinggi yang mewajibkan OSPEK pada hari pertama .


Latar Belakang OSPEK
Namun, OSPEK sangat diminati oleh para mahasiswa senior di hampir semua kampus. Agenda OSPEK menjadi daftar kegiatan/program kerja favorit behkan unggulan organisasi intra kampus setiap tahunnya. OSPEK selalu menjadi santapan menu wajib (dipaksakan wajib?) senior-senior di lingkungan (seharusnya) terdidik.
Anggapan bahwa mahasisiwa baru itu lugu dan tidak tahu apa-apa terhadap lingkungan kampus barunya, menjadikan kekuatan alasan diadakannya OSPEK. Alasan-alasan lain yang melatarbelakanginya, diantaranya; maba harus dikenalkan dengan semua civitas akademika terutama senior, maba tidak menghormati atau respect pada dosen terutama lagi-lagi senior, maba haarus disiplinkan, maba harus ditempa mentalnya dan lebih hebatnya lagi ada alasan bahwa maba dianggap bukan bagian dari akedemika kampus kalau tidak ikut acara OSPEK. Patutkah kita pikirkan kembali agenda yang sudah dianggap berbudaya ini?
Padahal, kalau kita telusuri dari sejarah terjadinya OSPEK, kita akan menemui bahwa OSPEK merupakan warisan dari jaman kolonial. Saat tahun 1940-an, Belanda menghadapi serangan dari tentara-tentara jepang. Oleh karena itu, dilatihlah tentara-tentara pelajar yang diberikan latihan militer. Kemudian berkembang menjadi kegiatan “perpeloncoan” pada tahun 1960-an yang disebut mapram. Pada tahun 1971 keluarlah SK Menteri P dan K yang bermaksud menghapus mapam karena menimbulkan banyak korban dan akhirnya digantikan dengan Pekan Orientasi Studi (POS). Walaupun penggantian terjadi tidak bisa menghilangkan unsur kekerasan yang terjadi, POS pun diganti dengan OS (Orientasi Studi). Saat tahun 1990-an diganti lagi menjadi OSPEK yang tetap menimbulkan korban akibat kekerasan senioritas. Sudah menjadi tidak pantas pada jaman reformasi ini kita mempertahankan warian negatif kolonial tersebut.

Kemasan OSPEK Yang Baru
Sampai saat ini, simpang siur diperbolehkannya OSPEK masih terdengar. Faktanya, kampus yang melarang diadakannya perpeloncoan, mahasiswa senior masih bisa membuat agenda lain dengan subtansi yang hampir sama. Menekan dan bertindak semena-mena terhadap maba. Beberapa mahasiswa senior memang bersikeras melestarikan budaya yang dianggap dapat menigkatkan semangat belajar, meningkatkan adaptasi, menigkatkan kemampuan akademik, dan dianggap dapat membuat mahasiswa berfikir jernih walau dalam keadaan ditekan dan sulit. Sedangkan pihak yang menginginkan penghapusan OSPEK pun tidak kalah gencar. Berbagai latarbelakang dan alasan pula menyokong keinginan itu.
Dalam keadaan yang tidak tertekan saat ini, mari kita berfikir secara jernih. Munculnya konflik OSPEK berawal dari adanya korban kekerasan, hingga menimbulkan kematian. Yang menjadi persoalan adalah begaimana bisa senior mendidik (dg perpeloncoan) kepada junior untok berfikir jernih dalam keadaan sulit, sedangkan para senior sendiri tidak mampu berfikir secara jernih tentang apa dan bagaimana pelaksanaan sistem kaderisasi kepada junior-juniornya. Padahal OSPEK adalah salah satu bentuk kegiatan yang seharusnya berdasar pada asas keilmuan, karena warga kampus sebagai kelompok mesyarakat ilmiah.
Teknik wujud kegiatan OSPEK harus diperhatikan dan direkonstruksi ulang jika memang agenda OSPEK harus dilangsungkan. Hal utama yang harus diperhatikan saat ini adalah OSPEK selalu identik dengan kekerasan. Dan kekerasan secara tidak sadar sebagai ekspresi dorongan instuisi manusia primitif menyatu dengan kegiatan sehari-hari di negara Indonesia. Harus ada generasi yang “dikorbankan” untuk tidak melakukan balas dendam terhadap juniornya. Inti memperkenalkan sistem pendidikan di perguruan tinggi harus dikemas dalam bentuk yang baru dan berasas pada persaudaraan dan keilmiahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BENCANA (LITERASI) KESEHATAN (BELAJAR DARI KASUS KPAI, KEMATIAN ARTIS & VIRUS CORONA)  Oleh Ns. Muflih., S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Kom...